Kamis, 17 Desember 2009

Rumah Adat Suku Toraja

Rumah Tongkonan yang sangat indah terdapat di Kampung Kete Kesu Kabupaten Tana Toraja. Dari depan terlihat kampung ini berada di tengah lautan, padi dengan rentetan atap yang melengkung. Ciri tradisional Tana Toraja masih dipertahankan, disini kita dapat menyaksikan dinding yang berukir pada lumbung padi yang cantik mempesona.

Rumah Adat Suku Toraja-HDR.....Part 1 by we jaseim.
Kitekesu, Tanah Toraja, Sulawesi Selatan

Nilai Tradisi Vs Keagamaan

DALAM kepercayaan asli masyarakat Tana Toraja yang disebut Aluk Todolo, kesadaran bahwa manusia hidup di Bumi ini hanya untuk sementara, begitu kuat. Prinsipnya, selama tidak ada orang yang bisa menahan Matahari terbenam di ufuk barat, kematian pun tak mungkin bisa ditunda.

Sesuai mitos yang hidup di kalangan pemeluk kepercayaan Aluk Todolo, seseorang yang telah meninggal dunia pada akhirnya akan menuju ke suatu tempat yang disebut puyo; dunia arwah, tempat berkumpulnya semua roh. Letaknya di bagian selatan tempat tinggal manusia. Hanya saja tidak setiap arwah atau roh orang yang meninggal itu dengan sendirinya bisa langsung masuk ke puyo. Untuk sampai ke sana perlu didahului upacara penguburan sesuai status sosial semasa ia hidup. Jika tidak diupacarakan atau upacara yang dilangsungkan tidak sempurna sesuai aluk (baca: ajaran dan tata cara peribadatan), yang bersangkutan tidak dapat mencapai puyo. Jiwanya akan tersesat.

"Agar jiwa orang yang ’bepergian’ itu tidak tersesat, tetapi sampai ke tujuan, upacara yang dilakukan harus sesuai aluk dan mengingat pamali. Ini yang disebut sangka’ atau darma, yakni mengikuti aturan yang sebenarnya. Kalau ada yang salah atau biasa dikatakan salah aluk (tomma’ liong-liong), jiwa orang yang ’bepergian’ itu akan tersendat menuju siruga (surga)," kata Tato’ Denna’, salah satu tokoh adat setempat, yang dalam stratifikasi penganut kepercayaan Aluk Todolo mendapat sebutan Ne’ Sando.

Selama orang yang meninggal dunia itu belum diupacarakan, ia akan menjadi arwah dalam wujud setengah dewa. Roh yang merupakan penjelmaan dari jiwa manusia yang telah meninggal dunia ini mereka sebut tomebali puang. Sambil menunggu korban persembahan untuknya dari keluarga dan kerabatnya lewat upacara pemakaman, arwah tadi dipercaya tetap akan memperhatikan dari dekat kehidupan keturunannya.

Oleh karena itu, upacara kematian menjadi penting dan semua aluk yang berkaitan dengan kematian sedapat mungkin harus dijalankan sesuai ketentuan. Sebelum menetapkan kapan dan di mana jenazah dimakamkan, pihak keluarga harus berkumpul semua, hewan korban pun harus disiapkan sesuai ketentuan. Pelaksanaannya pun harus dilangsungkan sebaik mungkin agar kegiatan tersebut dapat diterima sebagai upacara persembahan bagi tomebali puang mereka agar bisa mencapai puyo alias surga

Jika ada bagian-bagian yang dilanggar, katakanlah bila yang meninggal dunia itu dari kaum bangsawan namun diupacarakan tidak sesuai dengan tingkatannya, yang bersangkutan dipercaya tidak akan sampai ke puyo. Rohnya akan tersesat. Sementara bagi yang diupacarakan sesuai aluk dan berhasil mencapai puyo, dikatakan pula bahwa keberadaannya di sana juga sangat ditentukan oleh kualitas upacara pemakamannya. Dengan kata lain, semakin sempurna upacara pemakaman seseorang, maka semakin sempurnalah hidupnya di dunia keabadian yang mereka sebut puyo tadi.

To na indanriki’ lino
To na pake sangattu’
Kunbai lau’ ri puyo
Pa’ Tondokkan marendeng
Kita ini hanyalah pinjaman dunia yang dipakai untuk sesaat. Sebab, di puyo-lah negeri kita yang kekal. Di sana pula akhir dari perjalanan hidup yang sesungguhnya.

Bisa dimaklumi bila dalam setiap upacara kematian di Tana Toraja pihak keluarga dan kerabat almarhum berusaha untuk memberikan yang terbaik. Caranya adalah dengan membekali jiwa yang akan bepergian itu dengan pemotongan hewan-biasanya berupa kerbau dan babi-sebanyak mungkin. Para penganut kepercayaan Aluk Todolo percaya bahwa roh binatang yang ikut dikorbankan dalam upacara kematian tersebut akan mengikuti arwah orang yang meninggal dunia tadi menuju ke puyo.

Kepercayaan pada Aluk Todolo pada hakikatnya berintikan pada dua hal, yaitu padangan terhadap kosmos dan kesetiaan pada leluhur. Masing-masing memiliki fungsi dan pengaturannya dalam kehidupan bermasyarakat. Jika terjadi kesalahan dalam pelaksanaannya, sebutlah seperti dalam hal "mengurus dan merawat" arwah para leluhur, bencana pun tak dapat dihindari.

Berbagai bentuk tradisi yang dilakukan secara turun-temurun oleh para penganut kepercayaan Aluk Todolo-termasuk ritus upacara kematian adat Tana Toraja yang sangat dikenal luas itu-kini pun masih bisa disaksikan. Meski terjadi perubahan di sana-sini, kebiasaan itu kini tak hanya dijalankan oleh para pemeluk Aluk Todolo, masyarakat Tana Toraja yang sudah beragama Kristen dan Katolik pun umumnya masih melaksanakannya. Bahkan, dalam tradisi penyimpanan mayat dan upacara kematian, terjadi semacam "penambahan" dari yang semula lebih sederhana menjadi kompleks dan terkadang berlebihan.

Sebagai contoh, ajaran Aluk Todolo menghendaki agar orang yang meninggal dunia harus segera diupacarakan dan secepatnya dikuburkan. Maksud dari ajaran ini, seperti dikutip oleh M Ghozali Badrie dalam penelitiannya tentang "Penyimpanan Mayat di Tana Toraja", supaya keluarga yang ditinggalkan dapat melaksanakan upacara-upacara lain yang bersifat kegembiraan. Sebab, adalah pamali atau melanggar ketentuan aluk bila upacara kegembiraan (rambu tuka’) dilaksanakan bila ada orang mati (to mate). Untuk mengatasi hal yang berlawanan ini, masyarakat Tana Toraja lalu mengatakan, mayat tersebut belum mati, tetapi dianggap sebagai orang yang masih sakit (to makula). Dengan begitu, mereka yang ingin melaksanakan upacara rambu tuka’ tidak terhalang hanya karena ada mayat di kampung tersebut.

Pemakaman Tana Toraja

Peti mati yang digunakan dalam pemakaman dipahat menyerupai hewan (Erong). Adat masyarakat Toraja adalah menyimpan jenazah pada tebing/liang gua, atau dibuatkan sebuah rumah (Pa'tane).

Beberapa kawasan pemakaman yang saat ini telah menjadi obyek wisata, seperti di :

  • Londa, yang merupakan suatu pemakaman purbakala yang berada dalam sebuah gua, dapat dijumpai puluhan erong yang berderet dalam bebatuan yang telah dilubangi, tengkorak berserak di sisi batu menandakan petinya telah rusak akibat di makan usia. Londa terletak di desa Sandan Uai Kecamatan Sanggalai' dengan jarak 7 km dari kota Rantepao, arah ke Selatan, Gua-gua alam ini penuh dengan panorama yang menakjubkan 1000 meter jauh ke dalam, dapat dinikmati dengan petunjuk guide yang telah terlatih dan profesional.
tengkorak di bebatuan gua, Londa. Juli 2008
  • Lemo adalah salah satu kuburan leluhur Toraja, yang merupakan kuburan alam yang dipahat pada abad XVI atau setempat disebut dengan Liang Paa'. Jumlah liang batu kuno ada 75 buah dan tau-tau yang tegak berdiri sejumlah 40 buah sebagai lambang-lambang prestise, status, peran dan kedudukan para bangsawan di Desa Lemo. Diberi nama Lemo oleh karena model liang batu ini ada yang menyerupai jeruk bundar dan berbintik-bintik.
  • Tampang Allo yang merupakan sebuah kuburan goa alam yang terletak di Kelurahan Sangalla' dan berisikan puluhan Erong, puluhan Tau-tau dan ratusan tengkorak serta tulang belulang manusia. Pada sekitar abad XVI oleh penguasa Sangalla' dalam hal ini Sang Puang Manturino bersama istrinya Rangga Bualaan memilih goa Tampang Allo sebagai tempat pemakamannya kelak jika mereka meninggal dunia, sebagai perwujudan dari janji dan sumpah suami istri yakni "sehidup semati satu kubur kita berdua". Goa Tampang Alllo berjarak 19 km dari Rantepao dan 12 km dari Makale.
  • Liang Tondon lokasi tempat pemakaman para Ningrat atau para bangsawan di wilayah Balusu disemayamkan yang terdiri dari 12 liang.
  • To'Doyan adalah pohon besar yang digunakan sebagai makam bayi (anak yang belum tumbuh giginya). Pohon ini secara alamiah memberi akar-akar tunggang yang secara teratur tumbuh membentuk rongga-rongga. Rongga inilah yang digunakan sebagai tempat menyimpan mayat bayi.
  • Patane Pong Massangka (kuburan dari kayu berbentuk rumah Toraja) yang dibangun pada tahun 1930 untuk seorang janda bernama Palindatu yang meninggal dunia pada tahun 1920 dan diupacarakan secara adat Toraja tertinggi yang disebut Rapasan Sapu Randanan. Pong Massangka diberi gelar Ne'Babu' disemayamkan dalam Patane ini. tau-taunya yang terbuat dari batu yang dipahat . Jaraknya 9 km dari Rantepao arah utara.
  • Ta'pan Langkan yang berarti istana burung elang. Dalam abad XVII Ta'pan Langkan digunakan sebagai makam oleh 5 rumpun suku Toraja antara lain Pasang dan Belolangi'. Makam purbakala ini terletak di desa Rinding Batu dan memiliki sekian banyak tau-tau sebagai lambang prestise dan kejayaan masa lalu para bangsawan Toraja di Desa Rinding Batut. Dalam adat masyarakat Toraja, setiap rumpun mempunyai dua jenis tongkonan tang merambu untuk manusia yang telah meninggal. Ta'pan Langkan termasuk kategori tongkonan tang merambu yang jaraknya 1,5 km dari poros jalan Makale-Rantepao dan juga dilengkapi dengan panorama alam yang mempesona.
  • Sipore' yang artinya "bertemu" adalah salah satu tempat pekuburan yang merupakan situs purbakala, dimana masyarakat membuat liang kubur dengan cara digantung pada tebing atau batu cadas. Lokasinya 2 km dari poros jalan Makale-Rantepao.

OBJEK WISATA

BATUTUMONGA

Berlokasi di daerah Sesean yang beriklim dingin, sekitar 1300 meter di atas permukaan laut. Di daerah ini terdapat 56 menhir batu dalam sebuah lingkaran dengan lima pohon kayu ditengahnya. Kebanyakan dari batu menhir itu berukuran dua sampai tiga meter tingginya. Pemandangan yang sangat mempesona di atas Rantepao dan lembah disekitarnya, dapat dilihat dari tempat ini sangat menarik untuk dikunjungi.

BORI

Obyek wisata utama adalah rante (tempat upacara pemakaman secara adat yang dilengkapi dengan buah menhir / megalit), dalam bahasa Toraja disebut simbuang batu. Seratus dua batu menhir yang berdiri dengan megah terdiri dari 24 buah ukuran besar, 24 buah ukuran sedang dan 54 buah ukuran kecil. Ukuran menhir ini mempunyai nilai adat yang sama. Penyebab perbedaan adalah situasi dan kondisi pada saat pembuatan / pengambilan batu, misalnya; masalah waktu, kemampuan biaya dan situasi pada masa kemasyarakatan. Megalit / simbuang batu hanya diadakan bila seorang pemuka masyarakat yang meninggal dunia dan upacaranya dilaksanakan dalam tingkat Rapasan Sapurandanan (kerbau yang dipotong sekurang-kurangnya 24 ekor). Pada tahun 1657 Rante Kalimbuang mulai digunakan pada upacara Pemakaman Ne’Ramba’ dimana 100 ekor kerbau dikorbankan dan didirikan dua simbuang batu.

Selanjutnya pada tahun 1807 pada acara pemakaman Tonapa Ne’Padda’ didirikan 5 buah simbuang batu, sedang kerbau yang dikorbankan sebanyak 200 ekor. Ne’Lunde yang pada upacaranya dikorbankan lebih dari 100 ekor kerbau didirikan 3 buah simbuang batu.
Selanjutnya berturut-turut sejak tahun 1907, banyak simbuang batu didirikan dalam ukuran besar, sedang, kecil dan secara khusus pada pemakaman Almarhumah Lai Datu (Ne’ Kase’) pada tahun 1935 didirikan satu buah simbuang batu yang terbesar dan tertinggi. Simbuang batu yang terakhir adalah pada upacara pemakaman Almarhum Sa’pang (Ne’Lai) pada tahun 1962.

Dalam kompleks Rante Kalimbuang tersebut terdapat juga hal-hal yang berkaitan dengan upacara pemakaman yaitu:

1. Lakkian yaitu persemayaman jenazah selama upacara dilaksanakan di Rante

2. Balakkayan yaitu panggung tempat membagi daging secara adat

3. Sarigan yaitu usungan jenasah Langi’ yaitu bangunan induk menaungi sarigan

4. Liang Pa’ / kuburan batu yang dipahat.